Materi kajian mingguan edisi minggu ini yang saya dapatkan bersama para ibu guru TK dan SD Islam di salah satu sekolah di 'sini' adalah tentang 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Alangkah baiknya kita juga mempelajari bagaimana kisahnya hingga Allah menjamin surga untuk mereka. Nah, salah satunya adalah Zubair bin Awwam r.a. yang kisahnya sangat luar biasa. Semoga kita dapat turut mengambil ibrah dari kisah tersebut. Lets check it out... ^_^
Pembela Rasulullah SAW
Setiap tersebut nama Thalhah,
pastilah disebut orang nama Zubair! Begitu pula setiap disebut nama Zubair,
pastilah disebut orang pula nama Thalhah! Maka sewaktu Rasulullah SAW
mempersaudarakan para shahabatnya di Mekah sebelum Hijrah, beliau telah
mempersaudarakan antara Thalhah dengan Zubair.
Sudah semenjak lama Nabi SAW
memperkatakan keduanya secara bersamaan, seperti kata beliau: “Thalhah dan
Zubair adalah tetanggaku di dalam surga”. Dan kedua mereka berhimpun bersama
Rasul dalam kerabat dan keturunan.
Adapun Thalhah bertemu asal-usul
turunannya dengan Rasul pada Murrah bin Ka’ab. Sedang Zubair bertemu pula
asal-usulnya dengan Rasulullah pada Qusai bin Kilab, sebagaimana pula ibunya
Shafiah, adalah saudara bapak Rasulullah
Thalhah dan Zubair, kedua mereka
banyak persamaan satu sama lain dalam aliran kehidupan. Persamaan di antara
keduanya sangat banyak dalam pertumbuhan di masa remaja; kekayaan,
kedermawanan, keteguhan beragama dan kegagah-beranian.
Keduanya termasuk orang-orang
angkatan pertama masuk Islam dan tergolong kepada sepuluh orang yang diberi
kabar gembira oleh Rasul masuk surga. Keduanya juga sama termasuk kelompok
shahabat ahli musyawarah yang enam, yang diserahi tugas oleh Umar bin Khatthab
memilih Khalifah sepeninggal-nya.
Akhir hayatnya juga bersamaan secara
sempurna, bahkan satu sama lain tidak berbeda.
Sebagaimana telah kita katakan, Zubair termasuk dalam rombongan pertama yang masuk Islam, karena ia adalah dari golongan tujuh orang yang mula-mula menyatakan keislamannya, dan sebagai perintis telah memainkan peranannya yang penuh berkat di rumah Arqam. Usianya yaitu itu baru lima belas tahun. Dan begitulah ia telah diberi petunjuk, nur dan kebaikan selagi masih remaja. Ia benar-benar seorang penunggang kuda dan berani sejak kecilnya, hingga ahli sejarah menyebutnya bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah Zubair bin ‘Awwam.
Sebagaimana telah kita katakan, Zubair termasuk dalam rombongan pertama yang masuk Islam, karena ia adalah dari golongan tujuh orang yang mula-mula menyatakan keislamannya, dan sebagai perintis telah memainkan peranannya yang penuh berkat di rumah Arqam. Usianya yaitu itu baru lima belas tahun. Dan begitulah ia telah diberi petunjuk, nur dan kebaikan selagi masih remaja. Ia benar-benar seorang penunggang kuda dan berani sejak kecilnya, hingga ahli sejarah menyebutnya bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah Zubair bin ‘Awwam.
Pada hari-hari pertama dari Islam,
sementara Kaum Muslimin waktu itu sedikit sekali hingga mereka selalu
bersembunyi-sembunyi di rumah Arqam, tiba-tiba pada suatu hari tersebar berita
bahwa Rasul terbunuh.
Seketika itu, tiada lain tindakan
Zubair kecuali menghunus pedang dan mengacungkannya, lain ia berjalan di
jalan-jalan kota Mekah laksana tiupan angin kencang, padahal ia masih muda
belia. Ia pergi mula-mula meneliti berita tersebut dengan bertekad andainya
berita itu ternyata benar, maka niscaya pedangnya akan menebas semua pundak
orang Quraisy, sehingga ia mengalahkan mereka, atau mereka menewaskan-nya.
Di suatu tempat ketinggian kota
mekah, Rasulullah menemukannya, lain bertanya akan maksudnya. Zubair
menyampaikan berita tersebut. Maka Rasulullah memohonkan bahagia dan mendo’akan
kebaikan baginya serta keampuhan bagi pedangnya.
Sekalipun Zubair seorang bangsawan
terpandang dalam kaumnya, namun tak kurang ia menanggung adzab derita dan
penyiksaan Quraisy. Yang memimpin penyiksaan itu adalah pamannya sendiri.
Pernah ia disekap di suatu kurungan, kemudian dipenuhi dengan embusan asap api
agar sesak nafasnya, lalu dipanggilnya Zubair di bawah tekanan siksa: “Tolaklah
olehmu Tuhan Muhammad itu, nanti kulepaskan kamu dari siksa ini!” Tantangan itu
dijawab oleh Zubair dengan pedas dan mengejutkan: “Tidak! demi Allah, aku tak
akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya!” Padahal pada waktu itu ia
belum menjadi pemuda teruna, masih belia bertulang lembut.
Zubair melakukan hijrah ke Habsyi
(Ethiopia) dua kali, yang pertama dan yang kedua, kemudian ia kembali, untuk
menyertai ketinggalan semua peperangan bersama Rasulullah.
Tak pernah ia ketinggalan dalam
berperang atau bertempur. Banyaknya tusukan dan luka-luka yang terdapat pada
tubuhnya dan masih berbekas sesudah lukanya itu sembuh membuktikan pula
kepahlawanan Zubair dan keperkasaannya. Maka marilah kita dengarkan bicara
salah seorang shahabatnya yang telah menyaksikan bekas-bekas luka yang terdapat
hampir pada segenap bagian tubuhnya, demikian katanya: “Aku pernah menemani
Zubair ibnul ‘Awwam pada sebagian perjalanan dan aku melihat tubuhnya, maka aku
saksikan banyak sekali bekas luka goresan pedang, sedang di dadanya terdapat
seperti mata air yang dalam, menunjukkan bekas tusukan lembing dan anak panah.
Maka kataku kepadanya: “Demi Allah, telah kusaksikan sendiri pada tubuhmu apa
yang belum pernah kulihat pada orang lain sedikit pun!” Mendengar itu Zubair
menjawab: “Demi Allah, semua luka-luka itu kudapat bersama Rasulullah pada
peperangan di jalan Allah.”
Ketika perang Uhud usai dan pasukan
Quraisy berbalik kembali ke Mekah, ia diutus Rasul bersama Abu Bakar untuk
mengikuti gerakan tentara Quraisy dan menghalau mereka, hingga mereka
menganggap Kaum Muslimin masih punya kekuatan, dan tidak terpikir lagi untuk
kembali ke Madinah guna memulai peperangan yang baru.
Abu Bakar dan Zubair memimpin tujuh puluh
orang Muslimin. Sekalipun mereka sebenarnya sedang mengikuti suatu pasukan yang
menang, namun kecerdikan dan muslihat perang yang dipergunakan oleh ash-Shiddiq
dan Zubair, membuat orang-orang Quraisy menyangka bahwa mereka salah duga
menilai kekuatan Kaum Muslimin, dan membuat mereka berfikir, bahwa pasukan
perintis yang dipimpin oleh Zubair dan ash-Shiddiq dan tampak kuat, tak lain
sebagai pendahuluan dari bala tentara Rasul yang menyusul di belakang, dan akan
tampil menghalau mereka dengan dansyat. Karena itu mereka bergegas mempercepat
perjalanannya dan mengambil langkah seribu pulang ke Mekah.
Di samping Yarmuk, Zubair merupakan
seorang prajurit yang memimpin langsung suatu pasukan. Sewaktu ia melihat
sebagian besar anak buah yang dipimpinnya merasa gentar menghadapi balatentara
Romawi yang menggunung maju, ia meneriakkan “Allahu Akbar” dan maju membelah
pasukan musuh yang mendekat itu seorang diri dengan mengayunkan pedangnya,
kemudian ia kembali ke tengah-tengah barisan musuh yang dahsyat itu dengan
pedang di tangan kanannya, menari-nari dan berputar bagaikan kincir, tak pernah
melemah apalagi berhenti.
Zubair radhiallahu anhu sangat
gandrung menemui syahid! Amat merindukan mati di jalan Allah. Ia pernah
berkata: “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama
Nabi-nabi padahal sudah sama diketahui bahwa tak ada Nabi lagi sesudah Muhammad
SAW. maka aku menamai anak-anakku dengan nama para syuhada, semoga mereka
berjuang mengikuti syuhada.
Begitulah dinamainya seorang anaknya
Abdullah bin Zubair mengambil berkat dengan shahabat yang syahid Abdullah bin
Jahasy. Dinamainya pula seorang lagi al-Munzir bin Amr mengambil berkat dengan
shahabat yang syahid al-Munzir bin Amar.
Dinamainya pula yang lain ‘Urwah
mengambil berkat dengan ‘Urwah bin Amar. Dan ada pula yang dinamainya Hamzah,
mengambil berkat dengan syahid yang mulia Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada lagi
Ja’far, mengambil berkat dengan syahid yang besar Ja’far bin Abu Thalib. Juga
ada yang dinamakannya Mush’ab mengambil berkat dengan shahabat yang syahid
Mush’ab bin Umeir. Tidak ketinggalan yang dinamainya Khalid mengambil berkat
dengan shahabat Khalid bin Sa’id. Demikianlah ia seterusnya memilih untuk
anak-anaknya nama para syuhada, dengan pengharapan agar sewaktu datang ajal
mereka nanti, mereka tercatat sebagai syuhada.
Dalam riwayat hidupnya telah
dikemukakan:”bahwa ia tak pernah memerintah satu daerah pun, tidak pula
mengumpul pajak atau bea cukai, pendeknya tak ada jabatannya yang lain kecuali
berperang pada jalan Allah“. Kelebihannya sebagai prajurit perang tergambar
pada pengandalannya pada dirinya sendiri secara sempurna dan kepercayaan yang
teguh. Sekalipun sampai seratus ribu orang menyertainya di medan tempur, namun
akan kau lihat bahwa ia berperang seakan-akan sendirian di arena pertempuran,
dan seolah-olah tanggung jawab perang dan kemenangan terpikul di atas pundaknya
sendiri. Keistimewaannya sebagai pejuang, terlukis pada keteguhan hatinya dan
kekuatan urat syarafnya. Ia menyaksikan gugur pamannya Hamzah di perang Uhud.
Orang-orang musyrik telah menyayat-nyayat tubuhnya yang terbunuh itu dengan
kejam, maka ia berdiri di mukanya dengan sikap satria menahan gejolak hati
dengan memegang teguh hulu pedangnya. Tak ada fikirannya yang lain daripada
mengadakan pembalasan yang setimpal, tapi wahyu segera datang melarang Rasul
dan Muslimin hanya mengingat soal itu saja.
Dan sewaktu pengepungan atas Bani
Quraidha sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah mengirimnya
bersama Ali bin Abi Thalib. Ia berdiri di muka benteng musuh yang kuat serta
mengulang-ulang ucapannya: “Demi Allah, biar kami rasakan sendiri apa yang
dirasakan Hamzah, atau kalau tidak, akan kami tundukkan benteng mereka!”
Kemudian ia terjun ke dalam benteng hanya berdua saja dengan Ali. Dan dengan
kekuatan urat syaraf yang mempesona, mereka berdua berhasil menyebarkan rasa
takut pada musuh yang bertahan dalam benteng, lain membukakan pintu-pintu
benteng tersebut bagi kawan-kawan mereka di luar.
Di perang Hunain, Zubair melihat
pemimpin suku Hawazin yang juga menjadi panglima pasukan musyrik dalam perang
tersebut nama-nama Malik bin Auf, terihat olehnya sesudah pasukan Hawazin
bersama panglimanya lari tunggang langgang dari medan perang Hunain, ia sedang
berada di tengah-tengah gerombolan besar shahabat-shahabatnya bersama sisa
pasukan yang kalah, maka secara tiba-tiba diserbunya rombongan itu seorang
diri, dan dikucar -kacirkannya kesatuan mereka, kemudian dihalaunya mereka dari
tempat persembunyian yang mereka gunakan sebagai pangkalan untuk menyergap
pemimpin-pemimpin Islam yang baru kembali dari arena peperangan.
Kecintaan dan penghargaan Rasul
terhadap Zubair luar biasa sekali, dan Rasulullah sangat membanggakannya,
katanya: “Setiap Nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin ‘Awwam!”
Karena bukan saja ia saudara sepupunya dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang
mempunyai dua puteri semata, tapi lebih dari itu adalah karena pengabdiannya
yang Iuar biasa, keberaniannya yang perkasa, kepemurahannya yang tidak terkira
dan pengorbanan diri dan hartanya untuk Allah Tuhan dari alam semesta. Sungguh,
Hasan bin Tsabit telah melukiskan sifat-sifatnya ini dengan indah sekali,
katanya:
“Ia berdiri teguh menepati janjinya
kepada Nabi dan mengikuti petunjuknya. Menjadi pembelanya, sementara perbuatan
sesuai dengan perkataannya. Ditempuhnya jalan yang telah digunakannya, tak
hendak menyimpang daripadanya. Bertindak sebagai pembela kebenaran, karena
kebenaran itu jalan sebaik-baiknya. Ia adalah seorang berkuda yang termasyhur,
dan pahlawan yang gagah perkasa. Merajalela di medan perang dan ditakuti di
setiap arena. Dengan Rasulullah memplanyai pertalian darah dan masih
berhubungan keluarga. Dan dalam membela Islam mempunyai jasa-jasa yang tidak
terkira. Betapa banyaknya marabahaya yang mengancam Rasulullah Nabi
al-Musthafa. Disingkirkan Zubair dengan ujung pedangnya, maka semoga Allah
membalas jasa-jasanya.”
Ia seorang yang berbudi tinggi dan
bersifat mulia. Keberanian dan kepemurahannya seimbang laksana dua kuda satu
tarikan. Ia telah berhasil mengurus perniagaannya dengan gemilang, kekayaannya
melimpah, tetapi semua itu dibelanjakannya untuk membela Islam, sehingga ia
sendiri mati dalam berutang. Tawakkalnya kepada Allah merupakan dasar kepemurahannya,
sumber keberanian dan pengurbanannya hingga ia rela menyerahkan nyawanya, dan
diwasiatkannya kepada anaknya Abdullah untuk melunasi utang-utangnya, demikian
pesannya: “Bila aku tak mampu membayar utang, minta tolonglah kepada Maulana, induk
semang kita, “Lalu ditanya anaknya Abdullah: “Maulana yang mana bapak maksudkan?”
Maka jawabnya: “Yaitu Allah, Induk Semang dan Penolong kita yang paling utama!”
Kata Abdullah kemudian: “Maka demi
Allah, setiap aku terjatuh ke dalam kesukaran karena utangnya, tetap aku
memohon: “Wahai Induk Semang Zubair, lunasilah utangnya, maka Allah mengabulkan
permohonan itu, dan alhamdulillah hutang pun dapat dilunasi. “Dalam perang
Jamal sebagaimana telah kami utarakan dalam ceriteranya yang lalu mengenai
Thalhah, Zubair menemui akhir hayat dan tempat kesudahannya. Sesudah ia
menyadari kebenaran dan berlepas tangan dari peperangan, terus diintai oleh
golongan yang menghendaki terus berkobarnya api fitnah, lalu ia pun ditusuk
oleh seorang pembunuh yang curang waktu ia sedang lengah, yakni di kala ia sedang
shalat menghadap Tuhannya.
Si pembunuh itu pergi kepada Imam
Ali, dengan maksud melaporkan tindakannya terhadap Zubair, dengan dugaan bahwa
kabar itu akan membuat Ali bersenang hati, apalagi sambil menanggalkan
pedang-pedang Zubair yang telah dirampasnya setelah melakukan kejahatan
tersebut.
Tetapi Ali berteriak demi mengetahui
bahwa di muka pintu ada pembunuh Zubair yang minta idzin masuk dan
memerintahkan orang untuk mengusirnya, katanya: “Sampaikan berita kepada
pembunuh putera ibu Shafiah itu, bahwa untuknya telah disediakan api neraka!”
Dan ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali oleh beberapa shahabatnya, ia
mencium dan lama sekali ia menangis kemudian katanya: “Demi Allah, pedang ini
sudah banyak berjasa, digunakan oleh pemiliknya untuk melindungi Rasulullah
dari marabahaya.
Dalam mengakhiri pembicaraan kita mengenai
dirinya, apakah masih ada penghormatan yang lebih indah dan berharga untuk
dipersembahkan kepada Zubair, dari ucapan Imam Ali sendiri, yaitu: “Selamat dan
bahagia bagi Zubair dalam kematian sesudah mencapai kejayaan hidupnya. Selamat,
kemudian selamat kita ucapkan kepada pembela Rasulullah!”
Untuk lebih mendalami, saya repost dari sumber di bawah ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua... Karena segala kebaikan dan ilmu adalah untuk diajarkan dan disebarluaskan... :)
Sumber: tausyah.wordpress.com
Pesan yang terbaca di angkasa saat perjalanan pulang adalah: "bergaullah dengan orang-orang yang shalih, karena merekalah yang akan dapat menjaga stabilitas hati dan rasa saat menghadapi masa-masa yang memang sangat fluktuatif. Yang akan saling mengingatkan kepada Allah. Dan memang benar bahwa agama seseorang bisa dilihat dari agama teman dekatnya."
Nah, untuk kisah 9 sahabat yang lain bisa dipelajari sendiri... atau InsyaAllah akan diposting pada kesempatan selanjutnya. Senantiasa belajar, ikhlas, sabar, tawadhu, dan istiqomah... :) Karena ilmu Allah hanya akan terserap pada hamba yang demikian. Nur Illahi hanya akan terserap oleh cermin hati yang berada pada atmosfer yang senantiasa menautkan hatinya pada Allah, insyaAllah... Semoga Allah SWT ridho memasukkan kita ke dalam golongan hamba yang demikian, shalih dan hanif yang hatinya senantiasa tertaut pada Allah Azza wajalla... aamiin ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar